Sejumlah ekonom mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan perpajakan di tahun 2025, terutama terkait dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Ekonom khawatir jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini dapat menjadi bumerang bagi perekonomian.
Pemerintah telah mengumumkan bahwa tarif PPN akan naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tujuan dari kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan.
Ekonom memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat berdampak negatif pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Barang dan jasa akan menjadi lebih mahal, sehingga konsumsi masyarakat berpotensi menurun. Pemerintah perlu mengantisipasi dampak ini dengan memberikan insentif atau bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan.
Para ekonom menekankan bahwa kebijakan fiskal tahun 2025 harus diarahkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Kebijakan fiskal harus mampu menjaga momentum reformasi dan transformasi ekonomi. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan perpajakan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, tetapi justru mendorong investasi dan produktivitas.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi yang intensif kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai kebijakan perpajakan yang baru. Hal ini penting untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menghindari kesalahpahaman. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa sistem administrasi perpajakan berjalan efisien dan transparan.
0 Komentar